ktp anak

Sosiolog Nia Elvina, menyarankan agar sebelum membuat program KTP Anak Indonesia, Kementerian Dalam Negeri seharusnya meninjau ulang gagasan atau filosofi mengapa warga negara yang dibawah usia 17 Tahun berhak mendapatkan KTP.

Menurutnya, hal tersebut sebaiknya koordinasi antar Kementerian itu segera dibangun.

“Mulai dari sinkronisasi data kependudukan antara BPS dan Kemendagri itu harus segera dibangun dan dilaksanakan, sehingga tidak membuat program-program yang kurang berkualitas,” terangnya.

Seharusnya, kata Nia, pemerintah dalam hal ini Kemendagri mengoptimalkan potensi yang ada antar Kementerian.

“Dengan kata lain harus konstruk atau buat program yang lebih strategis dan berkualitas tinggi untuk mendukung kemajuan bangsa ini,” ujar pengajar di Universitas Terbuka Surabaya tersebut.

Hal yang berbeda datang dari pengamat politik Emrus Sihombing. Dirinya justur menyetujui rencana Kemendagri menelurkan KAI.

“Saya rasa kartu tersebut bentuk proaktif Kemendagri. Saya setuju,” kata Emrus.

Disampaikannya, program KAI tersebut bagian dari terobosan pendataan administrasi penduduk.

“Kita tahu selama ini,pendataan jumlah anak  tidak terkelola dengan baik. KAI ini menurut saya bagian dari perencananaa pembangunan nasional,untuk menghitung variabel kesejahteraan, maupun jumlah penduduk secara statistik,” tuturnya.

Jika Kemendagri tak ingin nasib KAI sama seperti e-KTP, Emrus menyarakankan harus ada representatif koordinasi di tingkat daerah.

“Baik itu provinsi, kabupaten, kota maupun di level kecamatan desa. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Jadi secara tidak langsung program ini bukan hanya milik Kemendagri, tapi nasional,” ungkapnya.

Dirinya pun tidak setuju program ini bagian dari pemborosan anggaran. “Program yang membutuhkan penambahan anggaran dan bermanfaat bagi rakyat ya tidak bisa dikatakan pemborosan. Kecuali sebaliknya,”

Agar program ini terlaksa dengan lancar, Emrus menyarankan Kemendagri berkoordinasi terlebih dahulu dengan DPR.

“Tentu dengan harapan program ini didukung wakil rakyat di parlemen. Koordinasi dibutuhkan. Karena dengan program KAI ini kita bisa tahu jumlah anak-anak yang masih ada maupun yang meninggal. Begitu juga dengan perkembangan anak-anak Indonesia,” tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan kepemilikan KTP untuk anak ini juga sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusional sekaligus bisa dimanfaatkan untuk mengurus sejumlah keperluan sendiri, seperti pengurusan daftar sekolah, menabung di bank, mendaftar Puskesmas dan lainnya.

“Sekarang ini anak masih harus memperlihatkan kartu keluarga untuk mengurus semuanya, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), mengurus ke Puskesmas dan sejumlah contoh lain,” ucapnya.

Di Tanah Air, KTP anak akan mulai diberlakukan pada 2016 untuk kabupaten/kota yang saat ini capaian akta kelahiran anak sudah mencapai di atas 75 persen. Beberapa daerah yang mulai tahun depan sudah diberlakukan KTP anak yakni Kabupaten Blora (capaian kepemilikan akta kelahiran anak sebesar 90,09 persen), Kabupaten Temanggung (87,95 persen), Kota Magelang (86,64 persen), Kabupaten Bantul (76,53 persen).

Sedangkan khusus Jatim, yakni Kota Kediri (80,07 persen), Kota Pasuruan (78,93 persen), Kota Mojokerto (78,67 persen) serta Kota Blitar (76,83 persen). Sedangkan terkait teknis, di kartu KTP anak akan tertera nama, alamat, nama orang tua, nomor kartu penduduk, dan sejumlah identitas diri lainnya.

Zudan menjelaskan Program KAI merujuk pada UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Administrasi Kependudukan. Pembuatan kartu tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan oleh Karang Taruna atau PKK di masing-masing daerah.

Sedangkan elemen data pada kartu tersebut meliputi data nomor induk kependudukan (NIK), kartu keluarga (KK), tanggal lahir, nama, alamat, dan anak ke berapa.

“Untuk sementara data tentang hobi dan prestasi dicantumkan secara tersendiri melalui database yang telah disiapkan di masing-masing daerah,” tutupnya